Tata gerak, sistim latihan, gaya/style pertarungan yang diterapkan, secara teknis sangat memenuhi syarat untuk dimiliki dan melengkapi keterampilan pasukan perang. Murid- muridnya telah pula melatih Pasukan Komando TNI. Yaitu antara tahun 1968-1970,beberapa orang siswa keluarga perguruan Bhayu Manunggal melatih Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) TNI AU Lanud Adisucipto Yogyakarta. Modellatihan ini merupakan awal masuknya Pencaksilat ke jajaran Pasukan Komando TNI.
Sejak masa muda, beliau terbiasa bersahabat dan bergaul dekat dengan tokoh-tokoh persilatan Nusantara dari daerah-daerah Jawa, Madura, Bali dan Sumatera. Beberapa tokoh tersebut berasal dari antara lain :JawaBarat – Daerah Banjar, Tasik, Banten, Pandeglang, Jawa Timur – Pacitan,Ponorogo, Bojonegoro dan Madura, Bali – Klungkung, Sumatra – Palembang,Pagarruyung (Minang dan Aceh). Juga para tokoh/praktisi seni beladiri lain dari luar Nusantara, misalnya di lingkungan klenteng Cina dan perkumpulan kung fu cina (sam bang po – Pathuk Yogyakarta) dan prajurit bala tentara Jepang. Pergaulan yang luas ini diantaranya mempengaruhi ciri-ciri ilmu yang diciptakannya di kemudian hari. Adalah hal biasa pula bagi beliau, menyebarkan ilmu kepada pribadi-pribadi muda, walaupun bukan muridnya sendiri. Ilmunya menyebar secara tidak langsung di dalam berbagai aliran perguruan Nusantara dan luar Negeri. Berdasarkan falsafahnya bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup.
Manusia berhak belajar dan mengajar. Hal ini diantaranya yang mendasari sikap beliau dalam menyebarkan ilmunya. Hal ini pula yang pada suatu masa membawa beliau berada dan mengasuh salah satu Perguruan Historis IPSI.
Beliau sempat merintis pendirian laboratorium Pencak silat di Djogyakarta bersama-sama (alm) Ki Tarjonegoro(PHASADJA),(alm)Ki Poerwowarso (SHO), (alm)Ki Secodipoero (SHT), (alm) Ki Brototaryo (BIMA),dll.
Pada masa muda aktifitas perjuangannya melalui badan-badan organisasi diantaranya sebagai Ketua Badan Intelejen BPRI (Badan Pemberontak Republik Indonesia)Wilayah Djogjakarta yang didirikan oleh Bung Tomo. Dan aktif dalam kepengurusan PRN (Partai Rakyat Nasional) mendampingi Mr Djoedi Gondkoesoma (alm).
Pada antara tahun 1950 - 1965, ketika situasi politik sedemikian rupa, nuansanya secara perlahan merasuki perguruan beladiri negeri ini. Rasa “super” para tokoh perguruan pencak silat masing-masing ingin ditonjolkan namun kurang didukung dengan kemampuan berorganisasi, lambat laun hubungan didalam perguruan masing -masing tidak harmonis, akibatnya banyak perguruan di pulau Jawa yang pecah, khususnya di Yogya. Perguruan tua pecah menjadi beberapa perguruan.
MBah Djojo yang menyebarkan ilmu demi lestari dan berkembangnya seni beladiri bangsa ini, merasa gerah dan geram melihat situasi. Beliau kemudian menjaga jarak dan melepaskan diri dari lingkungan yang tak nyaman tersebut. Beliau sangat prihatin mengamati kehidupan generasi muda yang terkotak-kotak dalam bentuk kelompok-kelompok yang mencerminkan rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal semasa mudanya semangat dan jiwa bangsa dibangun dengan mengorbankan jiwa raga para pejuang demi persatuan dan kesatuan bangsa tersebut. Ketika itu pintu perguruan Bhayu Manunggal tetap terbuka selebar-lebarnya bagi generasi muda yang berasal dari kelompok atau golongan manapun tanpa kecuali, dengan tujuan melestarikan tata beladiri sebagai seni budaya bangsa. Dalam kekecewaan tersebut, Ki Djojosoewito sempat bersikap dengan membentuk organisasi pencak silat antara lain ;
Pencak Ikhlasing Rasa Persatuan Indonesia (PERPI) – ( bukan
salah satu perguruan historis IPSI hanya sama nama ),
Rasa Manunggaling Timbuling Kasantosan (ROMANTIKA) dengan pengurus
Drs.V.Munandir(alm),Agus Sugeng SH, Prof.Dr.Ir.Joko Prayitno Msc).
Untuk lebih mempertegas sikap dalam rangka pengembangan organisasi dan atas desakan beberapa generasi muda siswa keluarga Bhayu Manunggal senior, yaitu : Ragil Sardjono(alm),Ir.Cahyo Suryono(alm), Agus Sugeng SH, Drs. Suharto, Mayor Drs. Hery Warso(alm), Drs.V. Munandir (alm) serta Ki Djojosoewito(alm) sebagai Guru Besar Perguruan maka pada hari Minggu Kliwon tanggal 26 Juli tahun 1970 Masehi, didirikan Pelopor Pencak Silat Indonesia disingkat POPSI sebagai wadah organisasi yang bebas dari nuansa politis, yang merupakan badan
organisasi dari Perguruan Bhayu Manunggal. Kata “Pelopor” diambil untuk menandai bahwa organisasi Perguruan Bhayu Manunggal bebas dari lingkungan atau kelompok yang bernuansa politik.
Saat itu, pada dekade akhir tahun 60an walaupun suhu politik meningkat dan situasi ekonomi memburuk dunia pencak silat negeri ini, seperti bangun dari tidur panjangnya. Pemerintah mulai memperhatikan seni budaya tata beladiri bangsa ini. Perguruan-perguruan persilatan tua walaupun telah telah terpecah berbenah diri, perguruan-perguruan muda pecahan dari berbagai aliran bermunculan, seiring dengan masuknya seni beladiri import berbagai aliran dari bangsa Asia. IPSI aktif membenahi sistim organisasinya. Demikian pula Perguruan Bhayu Manunggal. Sejak berdirinya POPSI, aktifitas organisasi meningkat. Oleh siswa-siswa senior didirikan cabang-cabang organisasi POPSI diberbagai daerah. Setiap event yang diselenggarakan IPSI diikuti sebagai wujud kebersamaan.
POPSI Bhayu Manunggal
Antara tahun 1970-1980. Setelah beberapa tahun berdirinya POPSI sebagai organisasi, para siswa keluarga Perguruan Bhayu Manunggal yang sudah lebih dahulu mendirikan organisasi, di inventarisasi, agar supaya kelak tidak kehilangan sumber ilmu. Berdasarkan kesepakatan organisasi, semua bersatu dalam satu bendera. Sebagai induk organisasi dibentuk Pengurus Besar POPSI Bhayu Manunggal. Kepengurusan pertama PB. POPSI Bhayu Manunggal di motori oleh tiga orang : Ir. Widodo, Drs. Warie Suharyanto, R. Subur BA.
Sejak saat itu Perguruan Bhayu Manunggal berkembang melalui organisasi
POPSI Bhayu Manunggal. Tidak berbeda dengan perguruan-perguruan Pencak
silat yang lain di Nusantara. POPSI Bhayu Manunggal menyebar kesemua
penjuru tanah air dan manca negara. Pada dekade kedua PB. POPSI Bhayu
Manunggal, jalannya organisasi POPSI Bhayu Manunggal semakin solid, motor
organisasi menjadi empat orang : Ir. Wododo, Drs. Warie Suharyanto, R.
Subur BA dan Ahmad Husein Indrajaya Bsc. Organisasi Perguruan sejak
berdirinya POPSI 1970, aktif mengikuti kegiatan persilatan
nasional/internasional . Beberapa siswa laga, dari beberapa daerah/ negara
selalu mewarnai persilatan nasional dan internasional.
Tercatat dalam pengembangan organisinya beberapa tempat latihan didirikan dan kurang dapat dikoordinasikan dengan baik antara lain :
1. Cabang Borobudur (Mas Bakri, mas Dorie)
2. Cabang Nusawungu-Kroya (Mas Imamudin)
3. Cabang Pati (Mas Bowo)
4. Cabang Wonosari – Dep. Transmigrasi, Kepek)
5. Cabang Babarsari (Mas Djoko Santosa – UPN)
6. Cabang Nanggulan, Sentolo (Mas Ngakoid)
7. Cabang Kauman Yogyakarta (Mas Kofa)
8. Cabang Brito Yogyakarta (Mas Yatno)
9. Cabang Bekasi (Mas Daryanto)
10. Cabang Tangerang (Mas Ichsan)
Beberapa cabang yang dengan baik masih berdiri sampai sekarang antara lain,
1. Cabang Sleman, tersebar di banyak ranting
2. Cabang Bendungan,Brosot - Kulonprogo
3. Cabang Sleman, Padepokan Gamping
Sesuai dengan falsafahnya, bahwa beladiri adalah kodrat makhluk hidup. Maka demikian pula penyebaran ilmu Bhayu Manunggal berlangsung alamiah, melalui para pribadi yang pernah berguru secara pribadi langsung kepada Ki Djojosoewito sejak Perguruan Bhayu Manunggal berdiri maupun melalui siswa-siswa senior setelah dibentuknya badan organisasi POPSI yang kemudian menjadi POPSI Bhayu Manunggal. Hingga kini masih banyak pribadi-pribadi yang memiliki ilmu Bhayu Manunggal belum terjangkau oleh komunikasi Keluarga Besar Bhayu Manunggal baik di tanah air maupun di luar negeri. Sangat disayangkan apabila suatu saat kelak ilmu Bhayu Manunggal sebagai asset peradaban manusia yang diciptakan oleh mendiang Ki Djojosoewito larut oleh zaman, lenyap tak berbekas. Sebagai penutup dari sejarah perguruan ini, untuk pengeling-eling weling Sang Guru Besar bahwa Perguruan Bhayu Manunggal bersandar dan berlindung kepada Tuhan yang Maha Kuasa bersifat kekeluargaan dengan organisasi Pelopor Pencak Silat Indonesia (POPSI) yang tidak bernaung di dalam organisasi atau partai politik manapun. Weling yang wajib direnungi setiap insan Bhayu Manunggal, dalam melestarikan tinggalane sang Guru.
Pada bulan September hari Minggu Legi tahun 2001 Masehi, Ki Djojosoewito alias Pandita Dharmowiryo, Guru Besar Perguruan / Pencipta Ilmu Bhayu Manunggal tutup usia setelah sakit sepuh beberapa waktu. Meninggalkan ilmu Bhayu Manunggal pada para muridnya yang tersebar dipersada Nusantara ini dan luar Nusantara, dimana sebagian besar para murid tersebut belum berkomunikasi bahkan diantaranya belum saling mengenal. Sepeninggal beliau adalah merupakan kewajiban para murid tersebut untuk memelihara, melestarikan ilmu yang dimiliki masing – masing sebagai khasanah budaya bangsa yang diharapkan kemudian dapat diserahkan pada generasi berikut dari bangsa ini.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar